PALI – Janji pembangunan flyover di Kilometer 48 kembali menjadi sorotan publik di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI). Proyek yang semula dijanjikan sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) oleh PT Servo Lintas Raya (SLR)—perusahaan pengangkut batu bara di bawah naungan Titan Group—hingga kini tak kunjung terlihat realisasinya.
Padahal, pembangunan flyover tersebut bukan sekadar rencana biasa. Dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), proyek itu sebagai salah satu bentuk mitigasi terhadap dampak lalu lintas berat di jalur pengangkutan batu bara yang melewati wilayah padat penduduk.
Namun, delapan tahun lebih sejak AMDAL disahkan, yang tampak di lapangan hanyalah deretan truk batu bara yang terus melintas setiap hari, menimbulkan kemacetan, kebisingan, dan debu yang merusak kualitas udara.
“Flyover itu bukan janji kecil. Itu bagian dari AMDAL, yang berarti wajib dijalankan. Kalau tidak dilaksanakan, sama saja perusahaan mengabaikan aturan dan komitmen kepada masyarakat,” tegas Parson, warga Kecamatan Tanah Abang, Sabtu (18/10/2025).
Menurutnya, keberadaan flyover di KM 48 sangat penting untuk memisahkan jalur umum dengan jalur khusus angkutan batu bara. Tanpa infrastruktur tersebut, warga sekitar menjadi pihak yang paling dirugikan. Aktivitas masyarakat terganggu, termasuk anak sekolah dan pengendara yang setiap hari melintas di jalan yang sama dengan konvoi truk tambang.
“Setiap jam sibuk pasti menimbulkan kemacetan. Debunya luar biasa disaat musim kemarau, belum lagi suara bisingnya. Kami bukan menolak perusahaan, tapi kami ingin mereka menepati janji. Kalau AMDAL dibuat hanya formalitas, lalu untuk siapa regulasi ini dibuat?” ujarnya dengan nada kecewa.
Berdasarkan hasil penelusuran sejumlah pemerhati lingkungan di wilayah PALI, ketidakjelasan realisasi flyover tersebut bisa menjadi indikasi pelanggaran terhadap dokumen AMDAL. Pasalnya, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa setiap perusahaan wajib melaksanakan seluruh rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah disetujui dalam AMDAL.
“Jika komitmen di AMDAL tidak dilaksanakan, maka itu bisa masuk kategori pelanggaran,” ungkap salah satu aktivis lingkungan lokal, yang enggan disebutkan namanya. Ia menilai pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan menegur perusahaan jika terbukti mengabaikan kewajibannya.
Menurutnya, selama ini masyarakat di sekitar jalur angkutan batu bara telah menanggung beban sosial dan lingkungan yang besar, sementara manfaat ekonomi yang diterima relatif kecil.
“Flyover KM 48 adalah simbol tanggung jawab perusahaan—kalau itu pun tidak dilaksanakan, maka kepercayaan publik terhadap PT Servo dan Titan Group akan makin runtuh,” tambahnya.
Kondisi di lapangan juga memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan dari instansi terkait.
Masyarakat berharap pemerintah daerah, terutama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten PALI dan Dinas Perhubungan, turun langsung meninjau dan menegur pihak perusahaan. Mereka menilai sudah saatnya pemerintah tegas menagih komitmen korporasi, bukan sekadar menerima laporan di atas meja.
“Kalau perusahaan terus mengulur waktu, berarti tidak ada itikad baik. Pemerintah harus hadir. Kami tidak ingin daerah kami hanya jadi lintasan tambang tanpa keadilan lingkungan,” tambah seorang tokoh masyarakat setempat.
Perusahaan Masih Bungkam
Pihak PT Servo Lintas Raya maupun Titan Group belum memberikan keterangan resmi terkait keterlambatan pembangunan flyover tersebut. Beberapa kali upaya konfirmasi melalui pesan WhatsApp ke pihak humas perusahaan juga belum mendapat respons.
Sikap diam perusahaan ini justru menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Sejumlah pihak menduga, proyek flyover yang pernah dijanjikan hanya dijadikan pemanis saat penyusunan AMDAL untuk memperlancar izin operasional perusahaan.
“Kalau dulu flyover dijadikan janji agar AMDAL disetujui, maka sekarang mereka wajib membuktikan. Jangan biarkan janji lingkungan berubah jadi ingkar janji moral,” kata aktivis lingkungan tersebut.
Masyarakat di sekitar jalur angkutan batu bara berencana mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah provinsi dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jika dalam waktu dekat tidak ada langkah nyata dari perusahaan.
“Kami tidak mau lagi dijanjikan. Kami ingin kepastian. Kalau AMDAL disepakati, berarti harus dijalankan,” ujar Parson menegaskan.
Bagi warga, flyover KM 48 bukan hanya soal infrastruktur. Lebih dari itu, proyek tersebut adalah ujian nyata komitmen PT Servo dan Titan Group dalam menghormati hak-hak masyarakat serta menjaga keberlanjutan lingkungan di Kabupaten PALI.














